Rabu, 18 Juli 2012

Toraja Indonesia


Toraja. TCN.com-  Ada sekitar 157 tulisan yang terhimpun di dalamnya dan terpilih 10  pemenang, di antaranya adalah cerita perjalanan di Tanah Toraja yang ditulis oleh Bayu Adi Persada, seorang blogger Kompasiana yang berhasil menjadi pemenang utama kompetisi ini dengan judul tulisan “Perayaan Hidup Kedua di Toraja“.
Berikut perjalanan Bayu Adi Persada di tanah Toraja yang juga dipublikasikan di Kompasiana.com.

Perayaan Hidup Kedua di Toraja
TIBA-TIBA ada suara ribut-ribut di halaman upacara. Orang-orang berteriak keras. Saya tersentak lalu beranjak mencari tahu apa yang terjadi. Saya semakin terkejut melihat seekor babi berlari tak tentu arah. Ternyata, babi yang akan dikorbankan terlepas dari ikatan di sebatang bambu. Dengan badan berdarah-darah, babi itu mencoba melepaskan diri dari kerumunan orang-orang.


Orang-orang di sekitar panik menyelamatkan diri naik ke rumah-rumah seketika itu juga. Untung saja tak berapa lama, situasi dapat dinetralisir. Babi mampu kembali ditangkap dan diikat. Itulah akhir perjuangan heroik dari seekor babi yang akan dikorbankan sebagai bagian dari ritual upacara pemakaman di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Saya sampai di terminal bis Lita di kota Makassar malam itu untuk melanjutkan perjalanan ke Tana Toraja. Sempat takjub melihat wujud bis yang terlampau eksklusif. Serius. Saya sudah siap menumpang bis apa saja tapi ketika kemudian bis yang tersedia terlampau nyaman, saya merasakan rentetan keberuntungan dimulai. Harganya pun cukup murah, Rp 110.000 untuk delapan jam overnight trip ke Toraja. Kursinya nyaman, jarak antar kursi cukup luas. Bahkan ada wi-fi (Wireless Fidelity). Moda transportasi yang patut diadaptasi untuk bis antar provinsi di Jawa.
Perjalanan delapan jam pun jadi tak terasa. Yang saya tahu, tiba-tiba bis sudah berhenti pagi itu. Waktu masih menunjukkan pukul 5.00 pagi. Bis berhenti sebentar di depan penginapan. Saya masih tertidur pulas saat sang kernet membangunkan. Sejak awal, saya memang meminta sopir untuk menurunkan saya di penginapan murah yang juga menyediakan penyewaan motor.
Kernet bis tersebut mengantarkan saya ke Hotel Bison, hotel sederhana di dekat Jalan Raya Rantepao. Hanya 20 meter dari jalan raya. Meski cukup sederhana, hotel ini nyaman sekali. Harga per malamnya sangat terjangkau, Rp 150.000, dan mereka menyediakan motor untuk disewa seharga Rp 65.000 per hari tanpa bahan bakar.
Saya tidak punya kemewahan akan waktu hari itu dan harus memanfaatkan setiap menit untuk menjelajahi kota penuh kultur unik nan bersahaja ini. Sekitar pukul 7.00 pagi, saya pergi ke lobi hotel untuk mencari-cari informasi. Tak banyak informasi yang diberikan penjaga hotel ini.  Beruntung, saya bertemu John Rante, seorang guide yang rumahnya berdekatan dengan hotel.
Saya menyewa jasa Pak John sebagai guide seharian penuh. Harga jasanya pun cukup murah, sekitar Rp. 150.000, sudah termasuk bensin motornya. Sebenarnya tarif normalnya Rp. 250.000 belum termasuk ongkos bensin. Namun, karena memang bukan musim liburan, saya bisa mendapat tarif terbaik.
Destinasi pertama yang saya kunjungi adalah pesta pemakaman di Kecamatan Kete Kesu. Pestanya berlangsung cukup sederhana dibanding upacara pemakaman yang sering diberitakan memakan biaya sampai ratusan juta bahkan sampai miliaran rupiah. Keluarga yang berkabung kebetulan hanya keluarga petani.
Akan tetapi, mereka tetap harus mengorbankan tiga ekor tedong (kerbau) dan tiga ekor bai (babi) sebagai teman menuju dunia yang lain bagi yang sudah wafat. Meski sedikit hewan yang dikurbankan, biayanya bisa mencapai  puluhan bahkan ratusan juta rupiah—harga satu kerbau biasa dijual Rp 15-30 juta dan satu babi Rp 1-3 juta. Belum ditambah biaya lainnya.
Saya mencoba menelisik masuk ke dalam. Memberi salam pada keluarga yang berkabung, kemudian menuju dapur yang sedang ramai. Terdengar sampai luar suara ibu-ibu yang sedang ngerumpi dan suara goresan panci. Saya sempat mengabadikan aktifitas unik mereka, sambil menguyah sesuatu, entah apa, meminum kopi hitam Toraja, dan menanak nasi satu gentong.
Meskipun memandang saya asing, tetapi mereka sangat ramah. Tak lama kemudian, saya ditawari secangkir kopi dan kue-kue khas Toraja yang terbuat dari beras merah.
Pak John lalu menceritakan banyak hal tentang ritual pemakaman itu. Masyarakat Toraja menganggap ada dua kehidupan yang mesti dijalani. Sebelum dan setelah mati. Ketika mati, mereka harus diperlakukan istimewa demi kebahagiaan hidup setelah mati. Puya, adalah masa atau dunia setelah kematian untuk masyarakat Toraja. Hewan-hewan yang dikurbankan menjadi teman bagi yang wafat di Puya. Sebuah prosesi untuk meninggikan yang telah tiada.
Kemudian, saya mampir ke kuburan batu di Desa Lemo, Kecamatan Sanggalange. Dinamakan kuburan batu karena mayatnya dikuburkan di tebing-tebing batu. Selain dikuburkan di sana, dibuat juga replika orang dari kayu lengkap dengan baju adatnya.
Beberapa kuburan di sana masih baru. Terdapat juga pahatan-pahatan yang baru dibuat sebagai persiapan untuk tempat persemayaman terakhir orang-orang yang meninggal setelahnya.
“Walau terlihat kecil, sebenarnya lubang di dalamnya besar sekali. Bisa menampung beberapa mayat,” jelas Pak John, sambil menunjuk sebuah kuburan di tebing batu.
Setiap sisi tebing di bukit itu dipenuhi kuburan dengan replika dari kayu. Saya sempat mengelilingi tebing ke sisi-sisi yang berbeda dan selalu mendapati kuburan-kuburan batu yang lain. Menurut Pak John, semakin ke belakang dan tersembunyi, berarti kasta orang tersebut lebih rendah.
Di sekitar kompleks kuburan batu, banyak warga sekitar yang menjual kerajinan khas Toraja. Selain unik, harganya pun tidak terlalu mahal. Kain cantik buatan tangan sepanjang 2 meter misalnya, hanya dihargai Rp 60.000 – Rp 80.000. Patung-patung khas Toraja dengan bentuk pasangan orang tua diharga Rp 25.000 – Rp 60.000, tergantung ukuran.
Destinasi selanjutnya ke tempat pemakaman bayi atau Baby’s grave. Lokasinya hanya berupa pohon besar diselimuti sabut-sabut hitam sebagai penutup lubang tempat bayi-bayi dimakamkan. Pohon itu diperuntukkan bagi bayi yang meninggal di dalam kandungan atau berusia di bawah 6 bulan.
Dari sana, kami beranjak ke pasar tradisional di kampung Tokesan. Di sini, seperti banyak pasar tradisional lain, ramai penjual yang menjajakan berbagai macam dagangan, mulai dari kebutuhan sehari-hari, sampai daging babi juga ada. Pasarnya mulai dari pagi hingga siang menjelang sore.
Saya kembali terkagum-kagum saat sampai di kampung Bonoran di kecamatan Kete Kesu, lokasi rumah-rumah adat Tongkonan. Ada dua belas rumah khas Toraja berjejer rapi di kedua sisi. Atap rumah adat Tongkonan sekilas mirip tanduk kerbau.
“Bukan tanduk kerbau. Itu perahu,” kata Pak John mengoreksi. Menurut sejarah, nenek moyang orang Toraja dulu adalah pelaut. Ketika sampai di daratan, mereka membuat rumah dengan memanfaatkan perahu-perahu mereka. Di depan setiap rumah adat, hampir pasti selalu dipajang jejeran tanduk-tanduk kerbau yang telah dikurbankan. Lengkap dengan replika kepala kerbau dari kayu.
Dari salah satu rumah yang saya masuki, kondisinya sangat sederhana, hanya terdiri dari tiga ruangan, yaitu kamar tidur, ruang keluarga, dan ruang makan. Dapur, ruang makan, dan bahkan kamar mandi digabung menjadi satu di bagian tengah.
Saya sangat penasaran ketika Pak John mengajak saya ke kuburan yang disimpan di gua. Di tebing, di gunung, di pohon, sekarang di gua? Memang Toraja kaya akan budaya menghormati yang tiada. Sampai-sampai mereka rela bertaruh nyawa untuk memakamkan orang-orang yang mereka cintai di tempat yang mereka anggap terbaik.
Lokasi kuburan gua ini ada di daerah Londa, sebelah selatan Rantepao. Untuk melihat ke dalam gua, kita mesti menyewa lampu petromak seharga Rp 25.000. Masuk ke gua ini mesti hati-hati, jalanan agak terjal, sempit, dan licin. Salah-salah bisa terpeleset.
Di dalamnya masih terdapat mayat yang baru dikubur dua tahun lalu. Peti matinya masih utuh. Berbeda dengan banyak peti mati lainnya yang sudah rapuh dan berlubang sehingga tulang-belulang pun sampai terjulur keluar. Sesaji juga banyak sekali diberikan oleh warga yang berziarah, seperti rokok, bunga, air minum, atau buah-buahan. Semuanya diberikan sebagai bekal yang tiada di alam sana. Walaupun sesaji tersebut kian hari kian menumpuk, tidak ada yang berani mengambil atau sekedar membersihkan karena takut dihantui.
Naik beberapa anak tangga di sisi bukit dekat gua, Pak John menunjukkan ada kuburan tertinggi yang terletak hampir di puncak tebing terjal. Sudutnya hampir tegak lurus. Tak terbayang bagaimana orang-orang bisa sampai ke sana hanya untuk menguburkan mayat. Ceroboh sedikit bisa ikut menjadi mayat. Tapi itulah, kata Pak John, sebuah dedikasi. “Mereka yang berangkat ke atas memang harus ahli. Ke atas hanya dengan berbekal bambu sebagai penyangga, ” katanya.
Semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin mewah pula jenazahnya. Seringkali dengan kain-kain mahal dan perhiasan. Oleh karena itu, biasanya jenazah orang-orang seperti itu diletakkan di tebing paling atas agar sulit dicapai orang lain.
Bagi masyarakat Toraja, kematian bukanlah sebuah akhir. Justru, kematian adalah gerbang menuju Puya, dunia yang baru. Dunia dimana arwah-arwah kembali menjalani hidup yang lain bersama dengan para hewan yang dikurbankan. Sungguh sebuah penghargaan yang tinggi pada kematian dan hidup setelah mati.
Itulah sekelumit kisah perjalanan saya di Toraja. Memang hanya sehari, tapi saya tak bisa melupakan setiap menit penelusuran budaya unik itu. Suatu hari saya pasti akan kembali untuk mencari tahu lebih banyak, dan menelusuri lebih dalam tentang kehidupan masyarakat Toraja yang bersahaja.
Seorang jurnalis dan penulis, Patricia Schultz, memasukkan Toraja dalam bukunya yang berjudul “1000 Places to See Before You Die”. Kini, saya tahu mengapa dia berkata begitu. Dalam hati, saya mengangguk seraya setuju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar